Secara umum, mineral bijih di alam ini dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu mineral sulfida dan mineral oksida. Begitu pula dengan bijih nikel, ada sulfida dan ada oksida. Masing-masing mempunyai karakteristik sendiri dan cara pengolahannya pun juga tidak sama. Dalam bahasan kali ini akan dibatasi pengolahan bijih nikel dari mineral oksida (Laterit).
Bijih nikel dari mineral oksida (Laterite) ada dua jenis yang umumnya ditemui yaitu Saprolit dan Limonit dengan berbagai variasi kadar. Perbedaan menonjol dari 2 jenis bijih ini adalah kandungan Fe (Besi) dan Mg (Magnesium), bijih saprolit mempunyai kandungan Fe rendah dan Mg tinggi sedangkan limonit sebaliknya. Bijih Saprolit dua dibagi dalam 2 jenis berdasarkan kadarnya yaitu HGSO (High Grade Saprolit Ore) dan LGSO (Low Grade Saprolit Ore), biasanya HGSO mempunyai kadar Ni ≥ 2% sedangkan LGSO mempunyai kadar Ni <>
Tabel 1. Contoh Komposisi Saprolit Ore
Berdasarkan table 1, faktor yang paling penting diperhatikan adalah basisitas (tingkat kebasaan) MgO/SiO2 atau ada juga yang mengukur berdasarkan SiO2/MgO. Tingkat kebasaan ini menentukan brick/ refractory/bata tahan api yang harus digunakan di dalam tungku (furnace), jika basisitas tinggi maka refractory yang digunakan juga sebaiknya mempunyai sifat basa agar slag (terak) tidak bereaksi dengan refractory yang akan menghabiskan lapisan refractory tersebut. Basisitas juga menentukan viscositas slag, semakin tinggi basisitas maka slag semakin encer dan mudah untuk dikeluarkan dari furnace. Namun basisitas yang terlalu tinggi juga tidak terlalu bagus karena difusi Oksigen akan semakin besar sehingga kehilangan Logam karena oksidasi terhadap logam juga semakin besar.
Gambar 1. Kesetimbangan Metal-Slag
(Ket: Slag selalu berada di atas metal karena densitynya lebih rendah)
Secara umum proses pengolahan bijih nikel jalur pyrometallurgy dibagi dalam beberapa tahap seperti dalam diagram berikut:
Gambar 2. Diagram alir proses
1. Kominusi
Kominusi adalah proses reduksi ukuran dari ore agar mineral berharga bisa terlepas dari bijihnya. Berbeda dengan pengolahan emas, dalam tahap kominusi untuk nikel ore ini hanya dibutuhkan ukuran maksimal 30 mm sehingga hanya dibutuhkan crusher saja dan tidak dibutuhkan grinder.
2. Drying
Drying atau pengeringan dibutuhkan untuk mengurangi kadar moisture dalam bijih. Biasanya kadar moisture dalam bijih sekitar 30-35 % dan diturunkan dalam proses ini dengan rotary dryer menjadi sekitar 23% (tergantung desain yang dibuat). Dalam rotary dryer ini, pengeringan dilakukan dengan cara mengalirkan gas panas yang dihasilkan dari pembakaran pulverized coal dan marine fuel dalam Hot Air Generator (HAG) secara Co-Current (searah) pada temperature sampai 200 C.
3. Calcining
Tujuan utama proses ini adalah menghilangkan air kristal yang ada dalam bijih,air kristal yang biasa dijumpai adalah serpentine (3MgO.2SiO2.2H2O) dan goethite (Fe2O3.H2O). Proses dekomposisi ini dilakukan dalam Rotary Kiln dengan tempetatur sampai 850 oC menggunakan pulverized coal secara Counter Current. Reaksi dekomposisi air kristal yang terjadi adalah sebagai berikut:
a. Serpentine
Reaksi dekomposisi dari serpentine adalah sebagai berikut:
3MgO.2SiO2.2H2O = 3 MgO + 2 SiO2 + 2 H2O
Reaksi ini terjadi pada temperatur 460-650 C dan tergolong reaksi endotermik. Pemanasan lebih lanjut MgO dan SiO2 akan membentuk forsterite dan enstatite yang merupakan reaksi eksotermik.
2 MgO + SiO2 = 2MgO.SiO2
MgO + SiO2 = MgO.SiO2
b. Goethite
Reaksi dekomposisi dari goethite adalah sebagai berikut:
Fe2O3.H2O = Fe2O3 + H2O
Reaksi ini terjadi pada 260C – 330C dan merupakan reaksi endotermik.
Di samping menghilangkan air kristal, pada proses ini juga biasanya didesain sudah terjadi reaksi reduksi dari NiO dan Fe2O3. Dalam teknologi Krupp rent, semua reduksi dilakukan dalam rotary kiln dan dihasilkan luppen. Sedangkan dalam technology Electric Furnace, hanya sekitar 20% NiO tereduksi secara tidak langsung dalam rotary kiln menjadi Ni dan 80% Fe2O3 menjadi FeO sedangkan sisanya dilakukan dalam electric furnace.
Produk dari rotary kiln ini disebut dengan calcined ore dengan kandungan moisture sekitar 2% dan siap dilebur dalam electric furnace.
4. Smelting
Proses peleburan dalam electric furnace adalah proses utama dalam rangkaian proses ini. Reaksi reduksi 80% terjadi secara langsung dan 20% secara tidak langsung pada temperature sampai 1650 C. Reaksi reduksi langsung yang terjadi adalah sebagai berikut:
NiO(l) + C(s) = Ni(l) + CO(g)
FeO(l) + C(s) = Fe(l) + CO(g)
Beberapa material yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap oksigen juga tereduksi dan menjadi pengotor dalam logam.
SiO2(l) + 2C(s) = Si(l) + 2CO(g)
Cr2O3(l) + 3C(s) = 2Cr(l) + 3CO(g)
P2O5(l) + 5C(s) = 2P(l) + 5CO(g)
3Fe(l) + C(s) = Fe3C(l)
Karbon disupplay dari Antracite (tergantung desain), dan reaksi terjadi pada zona leleh elektroda. CO(g) yang dihasilkan dari reaksi ini ditambah dengan CO(g) dari reaksi boudoard mereduksi NiO dan FeO serta Fe2O3 melalui mekanisme solid-gas reaction (reaksi tidak langsung):
NiO(s) + CO(g) = Ni(s) + CO2(g)
CoO(s) + CO(g) = Co(s) + CO2(g)
FeO(s) + CO(g) = Fe(s) + CO2(g)
Fe2O3(s) + CO(g) = 2FeO(s) + CO2(g)
Oksida stabil seperti SiO2, Cr2O3 dan P2O5 tidak tereduksi melalui reaksi tidak langsung. Sampai di sini Crude Fe-Ni sudah terbentuk dan proses sudah bisa dikatakan selesai.
Yield (recovery) dari nikel pada EAF dapat didekati seperti pada gambar berikut:
Gambar 3. Hubungan antara Fe yield dan Ni yield dalam EAF
Gambar 4. Hubungan antara Fe yield dan %Ni dalam Crude FeNi
Gambar 5. Diagram fasa biner Fe-Ni
Pada daerah interface (antar muka) Slag-Metal terjadi kesetimbangan sebagai berikut:
Si(l) + 2FeO(l) = 2Fe(l) + SiO2(l)
Si(l) + 2NiO(l) = 2Ni(l) + SiO2(l)
NiO(slag) + Fe(metal) = Ni(metal) + FeO(slag)
Sekali lagi basisitas sangat penting dalam kondisi ini, sebagai contoh proses yang didesain dengan basisitas 0,68 maka:
MgO = 0.68SiO2
MgO + SiO2 = 100%
0.68SiO2 + SiO2 = 100%
1.68SiO2 = 100% ®
SiO2 = 59.5% dan MgO = 40.5%
Korelasi antara slag melting point pada SiO2 59.5% dan MgO 40.5% diilustrasikan oleh diagram terner FeO-MgO-SiO2 dalam gambar 6 (diambil dari Slag Atlas, Verlagstahleisen, M.B.H., Duesseldorf, 1981 and I.J. Reinecke and H. Lagendikj, INFACON XI Conference Proceeding, 2007).
Gambar 6. Diagram terner FeO-MgO-SiO2 yang menunjukkan hubungan antara slag melting point dan slag basicity of 0.68 & 0.5 untuk FeO 6% & 10%
5. Refining
Pada proses ini yang paling utama adalah menghilangkan/memperkecil kandungan sulfur dalam crude Fe-Ni dan sering disebut Desulfurisasi. Dilakukannya proses ini berkaitan dengan kebutuhan proses lanjutan yaitu digunakannya Fe-Ni sebagai umpan untuk pembuatan Baja dimana baja yang bagus harus mengandung Sulfur maksimal 20 ppm sedangkan kandungan Sulfur pada Crude Fe-Ni masih sekitar 0,3% sehingga jika kandungan sulfur tidak diturunkan maka pada proses pembuatan baja membutuhkan kerja keras untuk menurunkan kandungan sulfur ini.
Proses ini dilakukan pada ladle furnace dengan agent sebagai berikut:
Tabel 2. Agent Untuk desulfurisasi
Sedangkan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
CaC2 (S) + S = CaS (S) + 2C (Sat)
Na2CO3 + S + Si = Na2S + (SiO2) + CO
Na2Co3 + SiO2 = Na2O . SiO2 + CO2
Reaksi ini merupakan reaksi eksotermik sehingga tidak membutuhkan pemanasan lagi pasca smelting.
Proses selanjutnya adalah converting, sebenarnya proses ini masih dalam bagian refining hanya untuk membedakan antara menurunkan sulfida dengan menurunkan pengotor lain seperti Si, P, Cr dan C sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan prosesnya sama hanya saja reaksi lebih dominan oksidasi dari oksigen.
Si (l) + O2 (g) = SiO2 (l) ↔ SiO2 (l) + CaO (l) = CaO . SiO2 (l)
Cr (l) + 5O2 (g)= 2Cr2O3 (l)
4P (l)+ 5O2 (g)= 2P2O5 (l) ↔CaO (l)+P2O5 (l)= CaO. P2O5 (l)
C(l) + ½ O2 (g)= CO (g)
C(l) + O2 (g)= CO2 (g)
Tabel 3. Contoh Komposisi Crude Fe-Ni yang dihasilkan